
Jakarta – Ujian Nasional (UN) yang sebelumnya dihapuskan Mendikbudristek Nadiem Makarim, kembali menjadi perbincangan hangat di golongan masyarakat. Abdul Mu’ti selaku Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah di sekarang ini menyampaikan bahwa “isu-isu pendidikan yang masih menjadi perdebatan menyerupai tata cara zonasi, cobaan nasional, ataupun apa namanya layak dibicarakan lebih lanjut dan secara seksama sebelum memutuskan/mengesahkan kebijakan yang final.”
Peralihan UN menjadi AN
Pro dan kontra kepada suatu kebijakan tidak bisa dihindari. Termasuk kebijakan dalam pendidikan utamanya terkait Ujian Nasional (UN) yang baru-baru ini hangat dibicarakan di tengah masyarakat. Ada yg menatap berimplikasi pada tataran faktual dan ada yang beropini berimbas pada hal negatif.
Namun, menyaksikan realitas yang terjadi, UN memang condong mengakibatkan tekanan psikologis tersendiri di golongan penerima didik dan menjalar pada segenap elemen yang ada di sekolah tergolong luar sekolah. Takut nilai tidak tinggi, takut tidak lulus sehingga contek-contekan, kunci jawaban, dan sejenisnya. Mengesampingkan susila ataupun moralitas demi kelulusan. Padahal salah sesuatu tujuan pendidikan yaitu membentuk kebijaksanaan pekerti luhur penerima didik.
Mengukur mutu berguru dan kesanggupan intelektual penerima didik boleh-boleh saja lantaran sanggup menjadi materi penilaian buat perbaikan. Namun, sosok yg paham terkait kesanggupan penerima didik merupakan guru yg membelajarkan mereka pada ruang-ruang kelas di sekolah terkait. Setiap penerima didik pintar di bidangnya. Seperti yg dibilang Howard Gardner bahwa kecerdasan itu terbagi ke dalam beberapa macam, meliputi word smart, number smart, self smart, people smart, music smart, picture smart, body smart, dan nature smart. Jadi, membuat nilai UN selaku syarat tunggal kelulusan merupakan praktik ketidakadilan dalam pendidikan.
Pada 2015, Anis Baswedan selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menentukan bahwa UN tidak dijadikan satu-satunya syarat kelulusan penerima didik; UN tetap dilaksanakan tetapi yg menyeleksi lulus atau tidaknya setiap penerima didik merupakan pihak sekolah. Adapun pembatalan UN secara permanen terjadi pada 2021, masa Nadiem Makarim. UN diganti menjadi Asesmen Nasional (AN). Keputusan tersebut kembali menuai pro dan kontra.
Di balik seluruh itu, pada tataran simpel pun teoritis, AN sanggup dipandang selaku salah sesuatu cara dalam memperbaiki pelaksanaan atau mutu pembelajaran pada instansi pendidikan. Selain pengukuran kognitif, soal-soal AN juga difokuskan pada ranah abjad anak. Literasi dan Numerasi menjadi sasaran alasannya merupakan kesanggupan tersebut merupakan beberapa di antara beberapa kompetensi yg mesti dimiliki oleh setiap penerima didik di kala globalisasi.
Sebagai asesmen yg tidak punya pengaruh pada kelulusan penerima didik bukan mempunyai arti berimbas pada kemalasan penerima didik dalam belajar. Mungkin ada tetapi tidak seluruh penerima didik, alasannya merupakan malas berguru itu dipengaruhi oleh banyak sekali sebab, maka cari akarnya. Hal yg mesti dimaksimalkan merupakan bagaimana elemen sekolah memainkan peranan dalam bikin iklim pembelajaran yang menyenangkan, menghidupkan semangat berguru penerima didik, memfasilitasi pengembangan minat dan bakat, serta mengasah mindset mereka, dan jadwal sejenisnya.
Kebijakan pastinya merupakan langkah solutif dari otoritas terkait untuk mengentaskan permasalahan yang ada. Dalam proses pendidikan, cobaan merupakan acara yg biasa disertai tetapi bukan suatu hal yg bersifat final. Aktivitas berguru tidak seharusnya terhenti setelah beberapa rangkaian cobaan di sekolah selesai diikuti. Pembelajaran juga bukan sekadar buat cobaan dan mendapatkan nilai tinggi serta orientasi pada mendapatkan lapangan kerja semata.
Bukan UN tetapi Proses
Permasalahannya bukan UN, tetapi perbaiki proses pembelajaran. Pendidikan bukan semata soal kognitif (pengetahuan), tetapi meliputi faktor afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan). Jika ada yg berpandangan bahwa UN memutus motivasi penerima didik dalam belajar, alasannya merupakan tidak ada yg ditakuti sehingga mereka malas-malasan, asumsi demikian keliru. Banyak cara yg bisa digunakan bagi menumbuhkan motivasi dan minat berguru mereka. Jika jadwal yg sesuatu belum sukses maka cari metode lainnya. Intinya tidak berhenti pada sesuatu cara saja.
Bukankah Kurikulum Merdeka mengusung kemerdekaan guru dalam mempersiapkan jadwal belajar? Maka, maksimalkan hal tersebut. Kendati bermuatan positif, Kurikulum Merdeka perlu pula dievaluasi. Sebab kesuksesan praktiknya belum hingga ke sekolah-sekolah di wilayah yang minim saluran belajar, terbatas fasilitas dan prasarana, mindset (guru dan penerima didik) yang masih konservatif (belum menatap berguru merupakan kebutuhan), dan hal terkait lainnya. Oleh alasannya merupakan itu, untuk memperbaiki proses demikian, maka perlu disokong pemerataan fasilitas dan prasarana pendidikan di setiap wilayah dan aksesibilitas kenaikan kompetensi guru.
Berikan beasiswa bagi setiap guru yang ingin melanjutkan studi pada tingkat yg paling tinggi tanpa menatap masa dedikasi dan sejenisnya. Saya menyaksikan bahwa bangsa ini direpotkan oleh kendala administratif; pemerintah tanggung-tanggung dalam memfasilitasi kenaikan kompetensi guru. Seperti guru yg ingin mendaftar beasiswa pendidikan mesti mengabdi sepersekian tahun dulu setelah itu gres bisa berpartisipasi dalam seleksi program-program pemerintah terkait kenaikan kompetensi maupun mutu diri atau karier.
Selain hal di atas, perbaiki pula kemakmuran guru. Bagaimana guru mau bergairah membelajarkan anak sementara keadaan ekonominya serba tanggung. Bahkan untuk mendapatkan penghasilan tambahan, ada di antara mereka yang sengaja menggadaikan SK yang uangnya digunakan bagi modal jerih payah menyerupai kebun, jualan, dan sejeninya. Jadi, selain beban mengajar, mencari metode inovatif, menawarkan jadwal interaktif, menghadapi keberagaman abjad anak, pikiran guru dihantui pula oleh kendala kesejahteraan.
Rahfit Syahputra Guru SMAN 1 Rokan IV Koto, Riau
ujian nasionalasesmen nasionalHoegeng Awards 2025Baca cerita inspiratif calon polisi pola di siniSelengkapnya