
Jakarta –
Sejumlah pemain besar di industri finansial berkumpul di New York, Amerika Serikat, pada malam pekan kemudian untuk menghimpun dana amal (fundraising) untuk memperbaiki suatu museum finansial yang terletak di Wall Street. Dalam persamuhan itu, mereka menghimpun dana sekitar US$ 1,5 milar atau Rp 23,3 triliun (kurs Rp 15.536).
Dalam agenda Museum of American gala, sejumlah taipan terlihat berkumpul. Mulai dari Kepala Brookfield Asset Management dan Mantan Gubernur Bank Inggris, Mark Carney, miliuner Ken Griffin, hingga Mantan Wakil Ketua Federal Reserve, Richard Harris Clarida, dan sebanyak 455 orang kaya lainnya.
Ratusan orang itu menghimpun dana Rp 23,3 triliun yang menyimpan beragam koleksi yang menjadi saksi bisu sejarah finansial AS. Sejumlah di antaranya, obligasi yang ditandatangani oleh Presiden Pertama AS, George Washington, rekaman ticker yang menjadi tanda jatuhnya pasar saham pada 1929, dan teladan permulaan mata duit AS.
Seperti banyak bisnis, museum itu diketahui sempat tak terurus di masa Pandem Covid-19. Museum itu berpindah wilayah dari alamat sebelumnya yaitu 48 Wall Street, padahal 48 Wall Street memiliki sejarah penting.
48 Wall street berfungsi selaku kantor sentra orisinil Bank of New York yang diresmikan oleh Alexander Hamilton. Museum itu mulanya dibuka pada 2008 menjelang krisis keuangan global.
Sejak di saat itu, benda dan dokumennya mengalami perjalanan yang panjang. Pada tahun 2018, museum itu mengungsi di saat pipa pecah menghancurkan tiga lantai museum, tergolong ruang pekan raya besarnya. Pada ekspresi dominan panas lalu, koleksi tersebut dimasukkan ke dalam trailer traktor dan dimuat dari Queens ke arsip Georgia.
Baca juga: Rupiah Pernah Digunakan buat Piala Dunia Lho, Koin yang Ini |
“Kita belum kehilangan persepsi atas pentingnya lokasi fisik museum itu. Jika anda ingin mengatakan perihal harga potongan harga atau mendonasikan wilayah (bagi museum) tolong hubungi kami,” tutur Presiden dan CEO Finance Museum, David Cowen, dilansir dari Reuters, Senin (11/3/2024).
Lokasi fisik museum itu pun dinilai menjadi pemantik bagi banyak anak muda untuk mendalami sektor finansial. Salah satunya yaitu Lina Lin, seorang mahasiswa gres dari Yale University, ia mengaku jatuh hati pada dunia ekonomi sehabis berkunjung ke virtual space museum itu di saat masih duduk di dingklik SMA.
“Hal yang paling mengagetkan saya yaitu banyaknya orang yang tak punya susukan kepada pendidikan keuangan. Saya lebih memutuskan lokasi fisik cuma alasannya lebih terpusat, lebih menyerupai wilayah berkumpul,” tutur Lin.
Sehagai informasi, Finance Museum masih masih mempublikasikan majalah, menyelenggarakan kuliah virtual, dan menyelenggarakan program yang diselenggarakan di ruang lain. Museum itu juga memiliki pekan raya keliling delapan kasus yang sanggup disewa untuk menciptakan pendapatan.
Sembari menanti lokasi permanen, museum tersebut sudah menciptakan arsip digital lebih dari 500 kotak berisi 300.000 halaman, sementara 835 bendanya juga sudah diproses arsiparis.